Hay guys.. Hari ini gw akan sharing sesuatu yang bikin kita merenung, berpikir dan merasakan tentang arti kehidupan kita sebenernya. langsung aja baca ya hehe.. siapkan hati dan pikiran sebelum membaca ;)
“Dalam salah
satu perjalanan jauh yang pernah Ayah lakukan, Ayah tiba di perkampungan para
sufi. Kau tahu apa itu sufi? Sufi adalah orang-orang yang tidak menyukai dunia dan
seisinya. Mereka lebih sibuk memikirkan hal lain. Memikirkan filsafat hidup,
makna kehidupan, dan prinsip-prinsip hidup yang agung. Ayah tahu, diantara banya
ksufi, tidak semuanya berhasil mencapai pemahaman yang sempurna tentang kehidupan.
A
da yang baru tertatih belajar tentang kenapa kita harus hidup. Ada yang sudah mencapai
pemahaman apa tujuan dan makna hidup, ada pula yang telah berhasil melakukan perjalanan
spiritual hingga memahami hakikat sejati kebahagiaan hidup.
“Ini pertanyaan terpenting Ayah. Apa
hakikat sejati kebahagiaan hidup? Apa definisi kebahagiaan? Kenapa tiba-tiba kita
merasa senang dengan sebuah hadiah, kabar baik, atau keberuntungan,? Mengapa kita
tiba-tiba sebaliknya merasa sedih dengan sebuah kejadian, kehilangan, atau sekedar
kabar buruk? Kenapa hidup kita dikendalikan sebuah benda yang disebuthati? Tidak
ada diantara kelompok sufi itu yang memberikan penjelasan yang memuaskan.
Mereka menggeleng, hingga akhirnya salah seorang dari mereka menyarankan Ayah
berangkat kesalahsatu lereng gunung. Di sana tinggal salah satu sufi besar,
ribuan muridnya, bijak orangnya, boleh jadi dia tahu jawabannya. Ayah bergegas mengemas
ransel, berangkat siang itu juga.
“Ayah menemui sang Guru. Dia menerima
Ayah dengan ramah, memberi Ayah kesempatan bertanya. Pertanyaan ayah hanya satu,
Dam. Apa hakikat sejati kebahagiaan hidup? Dengan memahaminya, seluruh kesedihan
akan menguap seperti embun terkena sinar matahari. Dengan memilikinya, setiap hari
kita bisa menghela nafas bahagia. Sang Guru terdiam lama, menggeleng,
berkatabahwa Ayah memberikan pertanyaan yang dia tidak tahu, tidak ada orang di
dunia yang bisa menajwabnya. Ayah mendesah kecewa, kemana lagi harus mencaritahu.
Sang Guru menatap Ayah lamat-lamat, berpikir sejenak. Seberapa tangguh Ayah
berusaha mencari tahu? Ayah berkata mantap, apa pun akan Ayah lakukan.
“Sang Guru tersenyum. Dia memberikan
pekerjaan teraneh yang pernah Ayah tahu. Seratus mil dari lereng gunung tempat dia
bermukim teradapat tanah luas di tepi hutan. Ada perkampungan dekat hutan itu. Perkampungan
itu butuh sumber mata air berupa danau. Sang Guru menyuruh ayah membuat danau
di tanah luas itu. Astaga, Dam, benar-benar sebuah danau. Itu bukan pekerjaan mudah.
“Sang Guru bilang, ‘Ketika kau berhasil
membuat danau indah yang jernih bagai air mata, kau akan mendapatkan jawaban hakikat
sejati kebahagiaan. Berangkatlah, setahun kemudian aku akan datang. Aku akan melihat
apakah danau itu sudah sebening air mata.”
“Walau tidak punya ide apapun soal
danau itu, Ayah menganggukmantap. Ayah sudah menduga, definisi kebahagiaan sejati
seharga pengorbanan besar. Itu pencapaian tertinggi seorang sufi, dan sepertinya
tidak bisa diperolehhanya dengan membaca buku atau bertanya. Ayah berangkat,
memulai pekerjaan besar itu, membuat danau yang cukup untu ksatu kampung.
“Kau tahu, Dam, tidak terbilang tanah
yang harus Ayah pindahkan. Berkubang licak setiap hari, mulai bekerja saat matahari
terbit, baru berhenti ketika matahari tenggelam. Ayah batu berhenti ketika galian
itu memiliki kedalaman tiga meter, luasnya sebesar lapangan bola. Perkerjaan
Ayah baru separuh selesai. Ayah kemudian membuat parit-parit dari mata air yang
ada di hutan, mengalirkannya kelubang danau. Setahun berlalu, danau itu jadi.
Ayah tersenyum senang. Tidak lama lagi jawaban pertanyaan itu akan datang.
Lihatlah, danau yang Ayah buat sebening air mata.
“Sesuai janji, sang Guru datang menjenguk
Ayah pada hari yang ditentukan. Sialnya, malam sebelum dia datang, hujan turun.
Sumber mata air dari hutan menjadi kotor. Ayah yang semangat mengajak Guru
ketepi danau mendesah kecewa. Lihat, danau yang Ayah buat jauh dari bening,
berubah keruh. Sang Guru menepuk bahu Ayah. Sang Guru berkata, Ayah tidak boleh
putus asa. Tahun depan sang Guru akan kembali.
“setelah memikirkan jalan keluarnya,
Ayah memutuskan membuat saringan di setiap parit , agar air keruh dan kotor dari
mata air ketika hujan turun tetap bening saat tiba di danau. Ayah
mengerjakannya dengan senang hati. Ide ini berhasil. Ayah juga memperbai kiseluruh
parit yang bermuara kedanau, memastikan tidak ada sumbernya yang bermasalah. Sedikit
saja ada air keruh masuk, danau sekeristal air mata langsung tercemar.
“Setahun berlalu lagi, sang Guru
datang menjenguk Ayah. Lihat, danau buatan ayah seperti nyata. Ayah tersenyum,
menunggu jawaban atas pertnyaan Ayah. Sang Guru menggeleng. Dia meraih sepotong
bambu panjang, lantas menusuk-nusuk dasar danau. Ayah berseru, mencegahnya. Itu
akan membuat air danau keruh. Benar saja, lantai danau yang terbuat dari tanah langsung
mengeluarkan kepul lumpur kecoklatan. Dalam sekejap, danau bening itu musnah.
Sang Guru menepuk-nepuk bahu Ayah lalu berkata, ‘Kau piker lagi, tahun depan aku
akan kembali.”
“Kau tahu, Dam. Ayah seperti dipermainkan.
Apalagi yang kurang dari danau Ayah? Dua tahun sia-sia. Baiklah, Ayah tahu apa
yang harus Ayah kerjakan. Ayah memutuskan menggali danau sedalam mungkin hingga
menyentuh dasar bebatuan, menyentuh mata airnya. Setahun berlalu, Ayah masih berkutat
menyingkirkan tanah-tanah, kedalaman danau sudah sepuluh meter. Sang Guru
datang, melihat dengan takzim Ayah yang sedang bekerja. Dua tahun berlalu, Ayah
masih mengeduk tanah. Tiga tahun berlalu, setelah kerja keras siang-malam,
akhirnya Ayah berhasil menyentuh dasar bebatuan. Air keluar deras dari sela-sela
batunya. Ayah tertawa senang. Semua parit Ayah tutup. Danau itu sempurna hanya digenangi
air dari mata airnya sendiri.
“Guru datang pada hari yang
dijanjikan. Dia tertawa renyah melihat danau yang bagai kristal air mata. Tetap
bening meski ada yang menusuk-nusuk dasarnya, tetap dengan cepat kembali bening
meski ada air dari parit yang bocor dan sejenak membuat keruh. Sang Guru
menatap Ayah, bertanya apakah Ayah masih butuh penjelasan atas pertanyaan itu.
Ayah menggeleng. Hari itu Ayah sudah tahu jawabannya, Dam. Setelah lima tahun bekerja
keras, hanya untuk memahami sebuah kebijaksanaan hidup sederhana, Ayah tahu jawabannya.
“Itulah hakikat sejati kebahagiaan
hidup, Dam. Hakikat itu berasal dari hati kau sendiri. Bagaimana kau membersihkan
dan melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati
lebih lapang, lebih dalam, dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan
sejati dari kebagaiaan yang datang dari luar hati kita. Hadiah mendadak, kabar baik,
keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki.
Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat hilang pula
kebahagiaan. Sebaliknya rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, nasib buruk, itu semua
juga datang dari luar. Saat semua itu datang dan hati kau dangkal, hati kau seketika
keruh berkepanjangan.
“Berbeda halnya jika kau punya mata
air sendiri di dalam hati. Mata air dalam hati itu konkret, Dam. Amat terlihat.
Mata air itu menjadi sumber kebahagiaan tidak terkira. Bahkan ketika musuh kau mendapatkan
kesenangan, keberuntungan, kau bisa ikut senang atas kabar baiknya, ikut berbahagia,
karena hati kau lapang dan dalam. Semantara orang-orang yang hatinya dangakal,
sempit, tidak terlatih, bahkan ketika sahabat baiknya mendapatkan nasib baik,
dia dengan segera iri hati dan gelisah. Padahal apa susahnya ikut senang.
“Itulah hakikat sejati kebahagiaan,
Dam. Ketika kau bisa membuat hati bagai danau dalam dengan sumber mata air
sebening air mata. Memperolehnya tidak mudah, kau harus terbiasa dengan kehidupan
bersahaja, sederhana, dan apaadanya. Kau harus bekerja keras, sungguh-sungguh,
dan atas pilihan sendiri memaksa hati kau berlatih.”
Kisahnya sih ngutip hehe tapi diambil pelajarannya ya temen-temen ^^

Dahsyat..
ReplyDeleteDahsyat..
ReplyDelete